Dikutip dari HaluanLampung.com:
BANDARLAMPUNG- Indonesia memiliki banyak lembaga survei politik. Satu di antaranya dipimpin oleh sosok yang relatif masih muda. Boleh dibilang, sosok ini adalah direktur termuda lembaga survei di Indonesia.
Danis Tri Saputra Wibono adalah namanya. Lahir di Bandung, 30 November 1986. Praktis, usianya kini belum genap 32 tahun. Adapun lembaga survei yang dinakhodainya bernama INDODATA.
Di media massa, nama Danis sebagai surveyor politik memang belum sebeken—misalnya—Denny JA (LSI), M. Qodari (Indo Barometer), Hanta Yuda (Poltracking), Yunarto Wijaya (Charta Politika), dan Eep Saefullah Fatah (PolMark); tetapi soal akurasi hasil surveinya dapat dipertanggung jawabkan.
“Saya sudah melakukan lebih dari 30 kali survei. Yang terbaru, di Pilkada serentak 2018 ini INDODATA memegang survei di lima daerah. Hasilnya, alhamdulillah mampu menyentuh kebenaran pada hasil Pilkada.,” ujar Danis, dalam rilis yang diterima Haluan Lampung, Rabu (22/8).
Pria yang kini sedang menanti kelahiran buah hatinya yang pertama ini memang tidak main-main. Ia memahami betul bagaimana survei politik bekerja. Teori survei dipelajarinya dari hulu sampai ke hilir. Dari sejak pertama kali survei politik digunakan di Weimar, Jerman, pada 1800-an; sampai ke Morris P Fiorina menjelaskan perilaku pemilih dengan cara mengkombinasikan teori rational-choice dengan pendekatan sosial psikologis.
Tentu ada perjalanan cukup panjang yang ditempuh Danis. Sejatinya, ia mengaku sudah tertarik pada dunia survei sejak duduk di bangku kuliah. Persisnya sejak semester pertama (2005) di Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP), Universitas Padjadjaran (Unpad). Tetapi ia baru benar-benar bisa terjun ke dunia survei pada 2010.
“Waktu itu saya masih sebagai peneliti lapangan. Jujur saja, meskipun secara teori sudah saya pelajari, tapi pada praktiknya di tahun 2010 itu saya masih belum begitu paham,” kenangnya.
Perubahan mulai dirasakan Danis pada 2013. Ia menerima amanah untuk menjadi koordinator wilayah dari Charta Politika. Sehingga pada 2014, ia mengaku sudah benar-benar memahami tahap demi tahap kerja survei politik. Tidak lama kemudian mendapat kesempatan bergabung dengan Poltracking. Tapi di sana tidak lama, karena ia sendiri disibukkan dengan jadwal perkuliahannya di Program Master UI.
Pada 2006, saat usianya baru 30 tahun, Danis memutuskan untuk mendirikan perusahaan yang dinamainya Akselerasi Grup. Perusahaan ini membadani tiga lembaga sekaligus: Akselerasi Institute, berfungsi untuk melakukan survei pengembangan serta pemberdayaan pendidikan, sekaligus melakukan pendidikan politik; Akselerasi Indonesia, berfungsi untuk menjalin kerjasama dengan pemerintah dan BUMN dalam bidang survei, di luar politik; dan INDODATA, berfungsi untuk survei dan konsultasi politik.
“Tim waktu itu hanya empat orang. Anak muda semua. Sekarang sudah bertambah menjadi tujuh orang. Yang tidak banyak orang tau sebenarnya adalah bahwa semua ini lakukan benar-benar dari nol, mungkin juga bisa dikatakan dari minus.”
Danis tidak menyerah. Ada satu tekad kuat dalam dirinya yang selalu mendorong untuk terus maju. Yaitu tekad untuk ikut andil dalam membangun Indonesia. Ia meyakini kalau semua yang dilakukannya ada dalam satu kerangka penting, yaitu membangun Indonesia. Ia selalu memelihara harapan supaya Indonesia terus tumbuh lebih baik di masa depan, lebih maju, di mana warganya lebih bisa saling menghormati, saling mencerdaskan.
“Saat ini masyarakat Indonesia itu sebetulnya sudah sangat cerdas, tetapi mudah lupa. Nah, tugas kita sangat mudah, tinggal mengingatkan mereka untuk terus lebih peduli lagi terhadap nasib bangsanya. Karena itu, survei sangat penting, dalam segala bidang kehidupan, bukan hanya dalam politik. Hanya saja, banyak yang belum paham kalau survei itu adalah netral dan ilmiah,” katanya, penuh optimisme.
Perkara lembaga survei didanai oleh partai politik, misalnya, menurut Danis itu bukan berarti hasil surveinya harus memihak ke sana. Kalau surveinya kurang bagus, ia sampaikan kurang bagus. Baru kemudian diajukanlah rekomendasi mengenai apa saja yang bisa dilakukan supaya hasil survei berikutnya lebih baik. Selepas itu, urusan ada di tangan partai politik.
“Mengubah angka-angka hasil survei tidak akan memberi keuntungan apapun. Jadi, buat apa memanipulasi hasil survei hanya demi menyenangkan pihak yang mendanai. Dalam survei politik, misalnya, saya selalu mengatakan bahwa bandwagon effect survey itu mitos, tidak pernah terjadi,” pungkasnya. (rls/JJ).